Memuat...
13 October 2025 08:57

Resiliensi Psikologis Keluarga: Bangkit bersama Pasca Pandemi dan Krisis Global

Bagikan artikel

Saat pandemi COVID‑19 melanda dunia, keluarga menjadi pusat dari banyak gejolak dimana ada tekanan finansial, gangguan rutinitas, ketakutan akan kesehatan, hingga kelelahan emosional. Namun di balik tantangan tersebut, muncul cerita resiliensi keluarga yaitu kemampuan sistem keluarga untuk bertahan, pulih, dan bahkan memperkuat diri dari guncangan besar kehidupan. Resiliensi keluarga bukan hanya soal kemampuan bertahan, melainkan proses dinamis yang melibatkan sistem keyakinan, komunikasi efektif, keterikatan keluarga, serta kepemimpinan spiritual atau nilai bersama. Menurut Walsh, resiliensi keluarga ialah proses adaptasi kolektif dan transformasi positif ketika menghadapi kesulitan besar seperti pandemi, membawa keluarga melampaui sekadar “kembali seperti semula” 

Pandemi membawa tekanan ekstrem dimana survei di Salatiga menemukan 78 % keluarga merasa cemas, sementara 23 % merasa tertekan; orangtua dengan anak belajar dari rumah mengalami stres sedang hingga tinggi sebesar 75 % dan 10 % secara berturut‑turut. Di sisi lain, beberapa penelitian menemukan gambaran optimis: di antara 593 orang tua di AS pada September 2022, ada tiga kelompok keluarga yang muncul yaitu keluarga dengan fungsi stabil (48 %), meningkat (42 %), dan memburuk (10 %) dalam hal relasi dan komunikasi keluarga pasca pandemi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga mampu mempertahankan atau memperbaiki fungsi keluarga mereka setelah krisis 

Apa kunci agar keluarga tidak hanya bertahan, tetapi tumbuh lebih kuat? Literatur menyebut tiga komponen utama: Family Belief System (nilai dan keyakinan bersama), Organizational Processes (peran dan fleksibilitas struktur keluarga), serta Communication & Problem‑Solving Processes (komunikasi terbuka dan pemecahan masalah bersama). Misalnya, keluarga yang memiliki keyakinan spiritual atau visi bersama tentang pentingnya solidaritas dan kebersyukuran cenderung lebih kuat rekonfigurasinya setelah krisis.

Faktor eksternal seperti dukungan sosial komunitas, kelompok agama, dan tetangga turut memperkuat resiliensi. Ann Masten dan kolega menekankan bahwa sistem dukungan sosial yang kuat adalah inti dari kemampuan keluarga untuk bangkit pasca krisis, karena resiliensi sejatinya terjadi dalam konteks relasi positif bukan hanya pada individu semata. Contoh konkret: di masa pandemi banyak keluarga mulai menyusun ritual baru seperti memasak bersama, malam permainan keluarga, atau pola komunikasi baru sehingga meningkatkan kohesi anak‑orangtua, memberi ruang kekuatan emosional saat ketakutan dan stres meningkat. Bahkan di konteks global, kajian sistematis menunjukkan bahwa kemampuan regulasi emosi, impuls control, self‑efficacy, optimisme dan empati merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat pasca pandemi untuk melakukan rebound psikologis yang sehat. Pandemi tidak hanya sebagai trauma, namun juga membuka peluang pertumbuhan pasca trauma (post‑traumatic growth) di mana keluarga mampu mengubah pandangan, memperdalam nilai, dan memperkaya hubungan antara anggotanya. Ini bukan sekadar kembali seperti semula, tetapi berkembang lebih baik dibanding sebelum krisis 

Selanjutnya, bagaimana keluarga membangun resiliensi secara praktis? Pertama, melalui komunikasi terbuka dimana setiap anggota keluarga diberi ruang bicara, saling mendengar dan berbagi perasaan. Kedua, mendayagunakan nilai bersama: keyakinan spiritual, kebersyukuran, rasa saling percaya, menjadi “north star” yang memperkuat semangat kolektif. Ketiga, peran anggota keluarga fleksibel misalnya istri mengambil peran tambahan sementara, atau anak ikut membantu tugas rumah, tanpa mengurangi respek dan batasan peran keluarga 

Fenomena upaya kolektif seperti grup pendukung orang tua, komunitas lokal berbagi pengalaman coping, atau peer-support di media sosial yang sehat juga terbukti membantu memulihkan kondisi psikologis keluarga terutama ketika isolasi sosial berkurang. Untuk keluarga di Indonesia, strategi ini bisa disesuaikan berdasarkan budaya lokal seperti memperkuat jaringan kerabat, mempererat ikatan lewat nilai religi, membangun rutinitas baru yang positif, dan memberikan pelatihan regulasi emosi serta komunikasi efektif dalam keluarga.

Kesimpulannya, resiliensi psikologis keluarga pasca pandemi dan krisis global merupakan proses adaptasi, komunikasi, nilai bersama, dan dukungan sosial yang saling bersinergi. Keluarga yang berhasil mengkombinasikan aspek internal seperti regulasi emosi, optimisme, keyakinan bersama, serta aspek eksternal seperti dukungan komunitas dan keterbukaan komunikasi, memiliki peluang lebih besar untuk pulih tidak hanya secara fisik dan sosial, tetapi juga tumbuh secara mental dan emosional. Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.

Referensi

Agung dkk. (2022): Resiliensi keluarga dan peran spiritual leadership di Salatiga 

Rasmadi dkk. (2023): Penguatan ketahanan keluarga kecil di masa pandemi 

Barton dkk. (2024): Profil keluarga pasca COVID‑19 dan prediktor resiliensi 

Walsh, F. (Family resilience framework) 

Masten et al. dan Ungar (support network & resilience) 

Literature review masyarakat post‑pandemic (Jurnal Telenursing) 

Kajian faktor psikologis resiliensi (emotion regulation, optimism, self-efficacy) 

Bagikan