Pandemi telah berlalu, tapi bagi banyak anak muda, sunyi itu belum pergi. Saat dunia mulai sibuk kembali, sebagian dari mereka justru tenggelam dalam kesepian yang tidak terlihat. Isolasi sosial selama COVID-19 bukan hanya memutus pertemuan fisik, tapi juga memperlambat perkembangan sosial dan emosional generasi muda. Selama dua tahun, sekolah berganti layar, interaksi terbatas pada emoji dan chat, dan banyak momen penting remaja seperti ulang tahun, wisuda, pertemanan yang hilang tanpa jejak. Akibatnya, muncul lonjakan kasus kecemasan, depresi, dan krisis identitas pada kalangan usia 15–24 tahun.
Anak muda berada pada fase krusial pembentukan identitas. Ketika interaksi sosial mendadak terputus, mereka kehilangan ruang belajar tentang diri, tentang orang lain, dan tentang bagaimana menjadi bagian dari masyarakat. Bahkan setelah pandemi usai, banyak yang merasa canggung untuk bersosialisasi kembali, atau justru merasa terasing di tengah keramaian.
Data dari CDC dan WHO menunjukkan peningkatan gejala depresi hingga 25% pada anak muda pasca-COVID. Kesepian menjadi epidemi tersendiri. Tidak sedikit yang merasa kehilangan makna, kehilangan arah, dan kehilangan kepercayaan untuk kembali membangun relasi.
Pemulihan mental mereka butuh waktu. Bukan hanya tugas psikolog atau sekolah, tapi juga keluarga dan komunitas. Anak muda tidak butuh nasihat klise seperti “ayo keluar rumah” atau “jangan overthinking”. Mereka butuh didengarkan, dibersamai, dan diberi ruang aman untuk pulih perlahan. Pandemi boleh selesai, tapi dampaknya masih berlapis. Kita perlu membangun ulang dunia yang bisa kembali mereka percayai. Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.
Referensi:
WHO (2022). COVID-19 pandemic triggers 25% increase in prevalence of anxiety and depression worldwide.
CDC (2023). Youth Mental Health Report. www.cdc.gov