Memuat...
10 December 2025 12:07

Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS): Saat Emosi Sulit Dikendalikan

Bagikan artikel

Saat Emosi Terasa Seperti Gelombang yang Tak Terkendali

Pernahkah kamu merasa tiba-tiba marah tanpa alasan jelas, menangis di tengah malam tanpa tahu kenapa, atau menyesali sesuatu yang kamu lakukan karena “terlalu terbawa perasaan”? Kadang kita ingin tetap tenang, tapi tubuh dan pikiran seolah punya kendali sendiri. Dalam momen seperti itu, banyak orang berkata, “Kendalikan emosimu!” seolah itu sesuatu yang mudah dilakukan. Padahal, bagi sebagian orang, mengatur emosi bukan hanya soal kemauan, melainkan soal kemampuan.

Untuk memahami kesulitan ini, para psikolog mengembangkan sebuah alat ukur bernama Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS). Alat ini membantu menjelaskan mengapa sebagian orang tampak lebih mudah meledak, sulit menenangkan diri, atau terus-menerus merasa kewalahan oleh emosi.

 

Apa Itu DERS?

DERS dikembangkan oleh Gratz dan Roemer (2004) untuk menilai seberapa besar seseorang mengalami kesulitan dalam mengatur emosi. Konsep “emotion regulation” sendiri berarti kemampuan untuk menyadari, memahami, menerima, dan mengelola emosi agar tidak mengambil alih hidup kita. Jadi, DERS tidak sekadar menilai “seberapa emosional” seseorang, tetapi lebih pada bagaimana seseorang berhubungan dengan emosinya.

Melalui sejumlah pernyataan, DERS membantu menggambarkan berbagai aspek kesulitan dalam regulasi emosi. Misalnya, apakah seseorang kesulitan mengenali apa yang dirasakannya, merasa tidak mampu mengendalikan diri saat emosi muncul, atau memiliki keyakinan negatif seperti “kalau aku marah, berarti aku lemah.” Dari sini, kita bisa memahami bahwa masalah emosi bukan hanya soal “emosi berlebihan”, tapi soal hubungan yang belum sehat dengan perasaan sendiri.

Mengapa Mengatur Emosi Bisa Begitu Sulit?

Banyak orang diajarkan untuk menekan emosi sejak kecil. Anak laki-laki sering dibilang “nggak boleh nangis”, sementara anak perempuan dianggap “terlalu sensitif”. Akibatnya, saat dewasa, kita sering tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan yang kuat, apakah harus dilawan, disembunyikan, atau dibiarkan meledak begitu saja.

Kesulitan ini makin kompleks ketika seseorang pernah mengalami trauma atau masa kecil penuh ketidakpastian. Otak kita belajar dari pengalaman: jika dulu emosi tidak diterima atau bahkan dihukum, maka sistem kita akan otomatis menolak perasaan itu. Emosi sedih bisa berubah jadi marah, takut berubah jadi mati rasa. Lama-lama, kita kehilangan kemampuan untuk membaca sinyal emosional dengan jernih seperti radio yang kehilangan frekuensi.

 

DERS dalam Konteks Kecemasan, Impulsivitas, dan Trauma

Dalam kasus kecemasan, seseorang mungkin terlalu peka terhadap tanda bahaya, bahkan pada situasi yang sebenarnya aman. DERS bisa membantu mengenali bahwa di balik rasa cemas berlebihan, ada kesulitan menerima dan menenangkan emosi tanpa harus melawannya. Orang dengan skor tinggi di DERS cenderung cepat bereaksi pada stres, tapi sulit menemukan cara untuk menenangkan diri setelahnya.

Sedangkan pada impulsivitas, kesulitan regulasi emosi sering membuat seseorang bertindak sebelum berpikir, makan berlebihan, mengirim pesan yang kemudian disesali, atau melakukan hal berisiko hanya untuk meredakan ketegangan batin. DERS membantu mengidentifikasi di mana kesulitan utama berada, apakah pada kesadaran emosi, pengendalian diri, atau kemampuan berpikir jernih saat emosi memuncak.

Pada trauma, tantangannya lebih dalam lagi. Orang yang pernah mengalami kekerasan atau kehilangan besar sering memiliki sistem emosi yang “waspada berlebihan”. Bagi mereka, rasa aman sulit didapat, dan emosi bisa berubah ekstrem, dari mati rasa ke amarah mendadak. DERS membantu memahami bahwa ini bukan kelemahan, melainkan mekanisme bertahan yang dulu pernah menyelamatkan, namun kini tidak lagi membantu.

 

Belajar Mengenal Emosi, Bukan Melawannya

Salah satu pelajaran penting dari teori di balik DERS adalah bahwa tujuan regulasi emosi bukanlah menekan perasaan, tetapi mengenalinya dengan cara yang sehat. Emosi ada untuk memberi sinyal, marah bisa menandakan ada batas yang dilanggar, sedih bisa menunjukkan bahwa kita kehilangan sesuatu yang penting, cemas bisa mengingatkan kita untuk bersiap. Namun, jika sinyal itu terlalu kuat dan kita tak tahu cara merespons, hidup jadi terasa seperti medan tempur yang tak pernah tenang.

Penelitian menunjukkan bahwa kesadaran emosional (emotional awareness) dan penerimaan (acceptance) adalah dua langkah pertama yang penting. Saat kita berhenti berusaha “menghapus” emosi dan mulai belajar “mendengarkan” mereka, sistem tubuh kita menjadi lebih stabil. Emosi yang diakui akan memudar secara alami, sedangkan emosi yang ditekan justru membesar di balik permukaan.

 

Langkah Kecil untuk Mulai Mengatur Emosi

Proses memahami diri sendiri melalui DERS sering kali membuka mata. Banyak orang berkata, “Oh, ternyata aku bukan pemarah, aku hanya belum tahu cara menenangkan diri.” Langkah pertama yang bisa dilakukan bukanlah menuntut diri untuk selalu tenang, melainkan mulai memperhatikan perasaan dengan rasa ingin tahu.

Saat emosi muncul, coba tanyakan:

“Apa yang sebenarnya aku rasakan sekarang?”
“Apa yang tubuhku ingin sampaikan lewat perasaan ini?”

Pertanyaan sederhana ini membantu kita berpindah dari mode reaksi ke mode refleksi. Selain itu, teknik pernapasan dalam, mindfulness, dan journaling juga terbukti membantu menurunkan intensitas emosi. Tapi yang paling penting adalah  memberi waktu dan ruang. Mengatur emosi bukan kemampuan bawaan, tapi keterampilan yang bisa dipelajari, sama seperti belajar bahasa baru.

 

Penutup: Emosi itu Tidak Berbahaya, Ketidaktahuan Kita yang Kadang Menyakitkan

DERS memberi kita peta untuk memahami hubungan antara emosi dan tindakan. Dengan mengenali di mana kesulitan kita, apakah dalam memahami perasaan, menenangkan diri, atau menerima emosi apa adanya, kita bisa mulai membangun hubungan baru dengan batin sendiri.

Mengatur emosi bukan tentang menjadi “dingin” atau “selalu kuat”, tapi tentang memiliki kebijaksanaan untuk tahu kapan harus merasakan, dan kapan harus melepaskan. Karena pada akhirnya, emosi bukan musuh yang harus dilawan, melainkan pesan yang menunggu untuk dimengerti.

Biro psikologi Smile Consulting Indonesia menyediakan jasa psikotes untuk berbagai kebutuhan asesmen psikologi, baik untuk individu maupun perusahaan. Layanan kami dirancang untuk memberikan hasil yang akurat dan terpercaya.

 

Referensi:

Gratz, K. L., & Roemer, L. (2004). Multidimensional assessment of emotion regulation and dysregulation: Development, factor structure, and initial validation of the Difficulties in Emotion Regulation Scale. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, 26(1), 41–54.

Aldao, A., Nolen-Hoeksema, S., & Schweizer, S. (2010). Emotion-regulation strategies across psychopathology: A meta-analytic review. Clinical Psychology Review, 30(2), 217–237.

Cisler, J. M., & Olatunji, B. O. (2012). Emotion regulation and anxiety disorders. Current Psychiatry Reports, 14(3), 182–187.

 

Bagikan