Memuat...
25 September 2025 10:14

Mental Health dalam Hubungan dan Relasi Modern

Bagikan artikel

Di era digital dan sosial media, relasi antar manusia mengalami transformasi besar. Banyak orang kini terhubung lebih luas, tapi ironisnya, justru merasa lebih kesepian dan terasing. Salah satu aspek yang paling terdampak dari perubahan ini adalah kesehatan mental. Hubungan yang semula menjadi sumber dukungan emosional kini bisa menjadi sumber stres, kecemasan, bahkan trauma, terutama jika tidak dilandasi oleh komunikasi yang sehat dan saling menghargai.

Mental health dalam konteks relasi bukan hanya soal pasangan romantis. Ia mencakup pertemanan, keluarga, rekan kerja, hingga interaksi sosial daring. Setiap hubungan membawa dinamika tersendiri yang bisa memperkuat atau justru mengganggu kesejahteraan psikologis seseorang. Ketika sebuah hubungan dilandasi oleh kepercayaan, empati, dan komunikasi yang jujur, maka ia bisa menjadi faktor pelindung (protective factor) terhadap stres, depresi, dan gangguan kecemasan. Namun ketika relasi dipenuhi manipulasi, ketidaksetaraan, atau pengabaian emosi, maka dampaknya bisa destruktif.

Salah satu konsep penting dalam memahami dinamika ini adalah "attachment style" atau gaya keterikatan, yang berkembang sejak masa kanak-kanak dan terbawa hingga dewasa. Orang dengan secure attachment cenderung mampu membangun hubungan yang stabil dan mendukung. Sebaliknya, mereka dengan anxious atau avoidant attachment mungkin akan sering merasa cemas ditinggalkan, terlalu bergantung, atau justru menghindari keintiman karena takut terluka. Studi menunjukkan bahwa gaya keterikatan ini sangat memengaruhi bagaimana seseorang merespons konflik, menyatakan kebutuhan emosional, dan mengelola stres dalam hubungan.

Konflik dalam hubungan sebenarnya wajar dan bahkan sehat jika ditangani dengan cara yang adaptif. Namun sayangnya, banyak orang menghindari konflik karena takut akan perpecahan, atau justru meledak-ledak tanpa kendali. Di sinilah pentingnya keterampilan komunikasi asertif: kemampuan untuk menyampaikan perasaan, batasan, dan kebutuhan secara jelas tanpa menyalahkan atau menyakiti pihak lain. Komunikasi semacam ini tidak hanya mengurangi konflik, tapi juga meningkatkan rasa saling percaya dan kedekatan emosional.

Sayangnya, media sosial dan budaya online sering kali memperburuk kondisi kesehatan mental dalam relasi. Fenomena seperti ghosting, love bombing, doomscrolling hubungan, hingga komparasi hidup dengan pasangan orang lain di Instagram menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan tekanan psikologis tersendiri. Banyak individu merasa hubungan mereka tidak cukup baik karena melihat "highlight" kehidupan orang lain yang tampak sempurna di layar.

Selain itu, dalam banyak relasi modern, ada fenomena burnout emosional: kelelahan akibat terus-menerus menjadi tempat curhat tanpa mendapat dukungan balik, menjadi “penyelamat” pasangan, atau terus berusaha menyenangkan orang lain demi menjaga hubungan. Ini bisa menyebabkan kehilangan diri sendiri dan menurunnya self-esteem. Psikolog menyarankan untuk mengenali red flag dalam relasi, seperti perasaan takut mengekspresikan diri, tidak dihargai, atau terus-menerus merasa lelah secara emosional.

Namun demikian, banyak juga individu yang mengalami pertumbuhan psikologis (post-traumatic growth) setelah melalui relasi yang sulit. Mereka menjadi lebih mengenal batas pribadi, lebih selektif dalam memilih pasangan atau teman, dan lebih menghargai koneksi yang sehat. Proses ini membutuhkan waktu, refleksi diri, dan kadang bantuan profesional seperti konselor atau psikolog.

Membangun relasi yang sehat bukan berarti tanpa konflik, tetapi tentang bagaimana kita belajar mengelola perbedaan dengan penuh rasa hormat. Ini juga melibatkan kesediaan untuk menyembuhkan luka masa lalu, mengenali pola relasi yang tidak sehat, dan berani membentuk ulang cara kita terhubung dengan orang lain.

Dalam dunia modern yang serba cepat dan penuh distraksi, relasi yang sehat bisa menjadi tempat bernaung, bukan beban. Mental health yang baik tidak bisa dilepaskan dari kualitas hubungan yang kita miliki. Maka penting bagi kita untuk memelihara relasi yang memberi rasa aman, mendukung pertumbuhan pribadi, dan membebaskan kita untuk menjadi diri sendiri. Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.

Referensi:

Bowlby, J. (1988). A Secure Base: Parent-Child Attachment and Healthy Human Development. Basic Books.

Mikulincer, M., & Shaver, P. R. (2007). Attachment in Adulthood: Structure, Dynamics, and Change. Guilford Press.

American Psychological Association. (2021). The Road to Resilience. https://www.apa.org/topics/resilience

Levine, A., & Heller, R. (2010). Attached: The New Science of Adult Attachment and How It Can Help You Find – and Keep – Love. Penguin.

Bagikan