Saat seseorang menghadapi situasi yang dapat menyebabkan stres, langkah pertama yang biasanya dilakukan adalah mencoba untuk memahami situasi tersebut dan menilai dampaknya terhadap kesejahteraan dirinya. Menurut Lazarus (1984), reaksi terhadap stres terjadi melalui tiga tahapan utama: primary appraising (penilaian primer), secondary appraising (penilaian sekunder), dan coping (penanggulangan).
Pada tahap primary appraising, individu pertama-tama menilai apakah situasi tersebut dianggap sebagai ancaman terhadap dirinya. Individu akan mengidentifikasi apakah situasi tersebut dapat membawa kerugian atau bahaya bagi dirinya (harm-loss), merupakan ancaman bagi masa depannya (threat), atau justru sebagai tantangan yang harus dihadapi. Setelah individu menilai situasi sebagai stres, perasaan cemas, tegang, atau bahkan depresi bisa muncul, yang merupakan reaksi psikologis dan fisiologis terhadap tekanan tersebut (Cox dalam Appley & Trumbull, 1986).
Selanjutnya, pada secondary appraising, individu akan menilai sumber daya yang tersedia untuk mengatasi situasi tersebut. Walaupun umumnya tahap ini terjadi setelah penilaian primer, kedua tahap ini bisa saling mempengaruhi. Misalnya, jika individu merasa keterbatasan sumber daya yang ada bisa menjadi ancaman, tahap penilaian dapat kembali ke tahap pertama. Di sini, individu menilai apakah sumber daya yang dimiliki—baik sosial, materi, fisik, maupun kemampuan intelektual—mampu untuk membantu mereka mengatasi masalah yang dihadapi (Cox, dalam Appley & Trumbull, 1986).
Berdasarkan penilaian sekunder tersebut, individu akan memutuskan langkah-langkah yang akan diambil untuk menangani masalah, atau yang biasa disebut dengan coping. Upaya ini dapat berupa strategi yang disesuaikan dengan hasil dari penilaian yang telah dilakukan. Jika penilaian tersebut tepat, individu akan mampu mengatasi masalah secara efektif (Lazarus, 2000).
Selain itu, Dr. Robert J. Van Amberg (dalam Hawari, 2001) membagi stres menjadi beberapa tahap berdasarkan intensitasnya:
-
Stres Tahap I: Merupakan tahap stres ringan di mana individu merasa penuh semangat, memiliki energi berlebih, dan merasa mampu mengerjakan lebih banyak pekerjaan dari biasanya. Meskipun ada dampak negatif seperti cadangan energi yang terkuras, perasaan gugup berlebihan juga bisa muncul.
-
Stres Tahap II: Pada tahap ini, energi yang terkuras mulai terasa, dan keluhan fisik serta mental muncul, seperti merasa cepat lelah, susah bangun tidur, perut tidak nyaman, jantung berdebar, dan otot terasa tegang.
-
Stres Tahap III: Keluhan yang semakin nyata terjadi di tahap ini, seperti gangguan lambung, ketegangan otot yang semakin meningkat, insomnia, dan gangguan koordinasi tubuh. Jika kondisi ini dibiarkan, seseorang perlu segera berkonsultasi dan mendapat terapi.
-
Stres Tahap IV: Pada tahap ini, meskipun secara fisik tidak ada kelainan, gejala stres tetap mengganggu. Pekerjaan yang sebelumnya mudah menjadi membosankan, ada penurunan kemampuan untuk berfungsi sehari-hari, gangguan tidur yang disertai mimpi buruk, dan perasaan kecemasan yang meningkat.
-
Stres Tahap V: Jika stres berlanjut tanpa pengobatan, gejala menjadi semakin parah, termasuk kelelahan fisik dan mental yang mendalam, gangguan pencernaan, serta meningkatnya perasaan takut dan kebingungan.
-
Stres Tahap VI: Ini adalah tahap paling parah dari stres, yang seringkali disertai dengan serangan panik, sesak nafas, gemetar, dan kelelahan ekstrim. Jika tidak ditangani, dapat menyebabkan pingsan atau perasaan terancam mati.
Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, Biro Psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.