Pagi masih gelap ketika Nadia, 24 tahun, sudah membuka laptopnya. Bukan karena lembur, tapi karena merasa harus “membuktikan” diri lebih awal daripada rekan-rekan kerjanya. Ia khawatir akan terlihat kurang produktif, apalagi sebagai karyawan baru. Sejak lulus dan langsung bekerja dua tahun lalu, Nadia hampir tak pernah benar-benar “libur.” Ponsel kantornya menyala 24/7. Lelah sudah menjadi sensasi biasa, dan stres adalah harga wajib dari kehidupan profesional. Apa yang dialami Nadia bukanlah kasus unik. Ini adalah potret banyak anak muda dari Generasi Z yang masuk dunia kerja dengan kecemasan tinggi dan ekspektasi diri yang nyaris tak kenal ampun.
Generasi Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, masuk ke dunia kerja pada masa yang penuh ketidakpastian: pandemi global, ketidakstabilan ekonomi, krisis iklim, hingga tekanan media sosial yang tak henti. Dalam banyak survei, termasuk yang dilakukan oleh Deloitte (2023), Gen Z dilaporkan sebagai kelompok usia yang paling cemas terhadap masa depan pekerjaan, keamanan finansial, dan keseimbangan hidup.
Di satu sisi, mereka tumbuh dengan nilai-nilai progresif seperti inklusivitas, hak akan kesehatan mental, serta pentingnya kerja yang bermakna. Namun di sisi lain, mereka juga dibesarkan dalam budaya hustle, tekanan performatif dari media sosial, dan ketidakjelasan arah ekonomi. Maka lahirlah paradoks: generasi yang sadar pentingnya kesehatan mental, tapi juga mengalami krisis psikologis paling besar di tempat kerja.
Yang membuat situasi makin pelik adalah bagaimana budaya organisasi di banyak tempat masih belum mampu beradaptasi dengan kebutuhan emosional generasi muda ini. Ketika Gen Z menunjukkan kelelahan, mereka kerap dianggap "manja" atau tidak tahan banting. Padahal burnout yang mereka alami bukan karena mereka kurang usaha, melainkan karena terlalu banyak menyerap tekanan. Mereka belajar menyembunyikan rasa lelah di balik senyum zoom meeting, membungkus stres dalam caption estetik di Instagram, dan merasa bersalah saat memilih untuk istirahat.
Normalisasi burnout ini terlihat dalam berbagai ekspresi sehari-hari: lelucon soal “kerja sampai mati,” kebiasaan overthinking soal performa, hingga rasa bersalah saat mengambil cuti. Perlahan, lingkungan kerja yang seharusnya jadi tempat berkembang justru menjadi sumber kecemasan konstan. Dan ketika kecemasan ini dibiarkan tanpa ruang aman untuk bicara, muncullah pola-pola disfungsi: disengagement, konflik interpersonal, penurunan produktivitas, hingga depresi laten.
Beberapa perusahaan memang mulai mengadopsi pendekatan yang lebih peduli terhadap kesejahteraan mental. Namun langkah-langkah ini sering bersifat simbolis: seminar kesehatan mental sekali setahun, atau program wellness tanpa strategi jangka panjang. Yang dibutuhkan Generasi Z bukan hanya kampanye tentang “self-care,” tapi ekosistem kerja yang betul-betul memahami ritme psikologis mereka: sistem kerja yang fleksibel, ekspektasi performa yang manusiawi, dan budaya komunikasi yang mendukung.
Selain itu, penting juga bagi Generasi Z sendiri untuk merefleksikan ulang relasi mereka dengan produktivitas. Kecemasan memang tak selalu bisa dihindari, tapi bisa dikenali dan dikelola. Jika burnout sudah dianggap sebagai standar, maka pemulihan bukan lagi sekadar cuti, tapi revolusi kecil dalam cara bekerja dan berpikir. Terbuka membicarakan beban mental, belajar menetapkan batas kerja yang sehat, dan berani memilih istirahat tanpa rasa bersalah. Semua ini adalah bentuk perlawanan terhadap budaya kerja yang merusak.
Kisah Nadia tidak harus berakhir pada kelelahan yang terus-menerus. Seperti banyak anak muda lainnya, ia mulai belajar bahwa produktivitas sejati bukan tentang jam kerja tanpa henti, tapi tentang keberlanjutan energi jiwa. Dan di tengah dunia kerja yang penuh tekanan, keberanian terbesar adalah ketika seseorang berani berkata: “Aku butuh istirahat.” Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.
Referensi:
Deloitte. (2023). 2023 Gen Z and Millennial Survey.
American Psychological Association. (2022). Stress in America Survey.
BBC Worklife (2022). “Gen Z and the Burnout Crisis”
The Lancet Psychiatry (2021). Mental health of young workers in post-pandemic era