hubungan orangtua dan anak yang dekat sering kali dianggap sebagai tanda keharmonisan keluarga. Mereka terlihat akrab, saling berbagi cerita, bahkan menjadi teman curhat satu sama lain. Namun, ada “garis” halus yang bila terlewati dapat membebani perkembangan psikologis anak yaitu sebuah kondisi yang dikenal sebagai emotional incest. Istilah ini memang terdengar asing dan kerap disalahartikan, tapi dampaknya nyata dan jauh dari sehat.
Emotional incest terjadi ketika orangtua menjadikan anak sebagai pengganti pasangan emosionalnya, menjadikannya tempat utama untuk mencurahkan beban pikiran, keluhan hidup, atau konflik rumah tangga. Pada kondisi seperti ini, anak kehilangan batas antara perannya sebagai anak dengan peran orang dewasa yang seharusnya menopang emosi orangtua. Tanpa disadari, hubungan ini membebani anak dengan tanggung jawab psikologis yang tidak semestinya mereka tanggung.
Fenomena ini sering muncul dalam keluarga dengan struktur dukungan yang rapuh. Contohnya, ketika salah satu pasangan mengalami perceraian, atau ketika hubungan antara ayah dan ibu dingin dan minim komunikasi. Dalam kondisi kekosongan emosional tersebut, sang orangtua bisa jadi secara tidak sadar mengalihkannya kepada anak. Anak pun dijadikan tempat pelampiasan curhat, penenang krisis, bahkan partner diskusi masalah rumah tangga. Alih-alih bermain atau belajar, anak malah dibebani narasi orang dewasa yang rumit dan penuh emosi.
Yang membuat situasi ini semakin rumit adalah karena hubungan seperti ini tidak mudah dikenali sebagai bentuk kekerasan emosional. Tidak ada kekerasan fisik, tidak ada ancaman. Yang ada justru keintiman dan kedekatan yang dianggap wajar. Anak bisa tumbuh dengan keyakinan bahwa ia memang bertanggung jawab untuk menjaga kestabilan emosi orangtuanya. Sayangnya, peran ini melahirkan luka batin yang baru akan terasa dampaknya saat dewasa.
Anak yang terlibat dalam emotional incest kerap mengalami kesulitan dalam membangun relasi yang sehat ketika tumbuh dewasa. Mereka cenderung mengabaikan kebutuhan diri sendiri demi orang lain, sulit menetapkan batasan, merasa bersalah saat ingin mandiri, atau justru mengalami burnout emosional akibat terlalu sering berperan sebagai “penyelamat” bagi orang lain. Dalam relasi romantis pun, mereka sering mencari pasangan yang bisa mereka “selamatkan”, mengulang pola yang sama dari masa kecil.
Penelitian oleh psikolo bernama Kenneth M. Adams menyebutkan bahwa emotional incest menimbulkan parentification, yaitu kondisi ketika anak mengambil peran orang dewasa dalam keluarga. Anak mungkin merasa istimewa karena dianggap "dewasa", tetapi secara psikologis mereka kehilangan masa anak-anak yang seharusnya bebas dan aman. Ketidakseimbangan inilah yang dapat memicu kecemasan, depresi, bahkan kehilangan identitas diri saat dewasa.
Penting untuk memahami bahwa keterbukaan dalam keluarga tetap dibutuhkan, tetapi dengan porsi yang tepat. Anak berhak tahu bahwa orangtuanya bukan sosok sempurna, tetapi mereka juga berhak tidak dijadikan tempat utama pelampiasan emosi. Jika orangtua sedang dalam krisis, carilah dukungan dari pasangan, teman sebaya, atau tenaga profesional. Anak bukan tempat sampah emosi, melainkan individu yang sedang bertumbuh dan membutuhkan peran orangtua yang aman dan stabil secara emosional.
Mengakui bahwa seseorang pernah menjadi “korban” emotional incest bukanlah bentuk menyalahkan orangtua. Ini adalah langkah awal untuk memulihkan diri dan membangun ulang batas-batas yang sehat. Dalam masyarakat yang kerap membungkus kedekatan keluarga sebagai bentuk cinta tanpa batas, kita perlu lebih waspada: cinta yang sehat bukan berarti tanpa batas, melainkan punya batas yang melindungi. Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.
Referensi:
Adams, K. M. (2011). When He's Married to Mom: How to Help Mother-Enmeshed Men Open Their Hearts to True Love and Commitment. Simon and Schuster.
Psychology Today: What Is Emotional Incest?
Journal of Child and Family Studies (2020): Parentification in Families with Dysfunctional Boundaries and Its Impact on Adult Psychological Functioning.