Setiap pagi, jutaan pekerja menyalakan laptop, membuka email, dan memulai hari dengan rutinitas yang mirip, namun banyak dari mereka membawa beban mental yang tidak terlihat. Lingkungan kerja yang sehat bukan hanya soal performa atau produktivitas, tetapi juga tentang bagaimana perusahaan menyediakan ruang aman bagi karyawan mengelola stres dan menjaga kesejahteraan jiwa. Di sinilah konsep wellbeing mulai hadir sebagai nilai inti, bukan sekadar pelengkap kebijakan HR.
Budaya kerja sehat dimulai dari komitmen pemimpin. Ketika atasan secara terbuka membicarakan kesehatan mental atau mengambil cuti karena burnout, mereka memberi izin implisit kepada karyawan untuk melakukan hal yang sama. Praktik seperti ini bukan hanya simbolis. Penelitian menekankan bahwa pelatihan manajer dalam mengenali tanda stres dan menjadi support awal sangat efektif mengurangi stigma, serta meningkatkan akses karyawan ke layanan dukungan (misalnya EAP). Cuti kesehatan mental, yang dulu dianggap tabu, hari ini mulai diadopsi oleh organisasi progresif seperti SAP dan Unilever. Mereka menyediakan “mental health day” berbayar tanpa perlu konfirmasi medikasi. Hasilnya, tingkat kepuasan kerja dan produktivitas meningkat secara signifikan. Salah satu studi mengatakan 80 % peserta merasa lebih fokus dan terlibat setelah mengambil cuti seperti ini
Namun tantangan muncul ketika inisiatif ini dianggap hanya bentuk pencitraan yaitu kegiatan simbolis tanpa perubahan nyata di lingkungan kerja. Sebuah studi pada sektor asuransi menemukan banyak program dianggap hanya “kotak centang” oleh karyawan; padahal beban kerja mereka tidak berkurang, sehingga manfaat workshop mental health tidak maksimal
Kunci agar program wellbeing efektif adalah memastikan integrasi yang konsisten dalam budaya perusahaan: kebijakan cuti mental health bukan pajangan, tetapi didukung dengan pengurangan beban kerja saat cuti, serta follow-up setelah karyawan kembali bekerja. Strategi “keep in touch” saat cuti juga terbukti menggandeng karyawan kembali dengan sehat tanpa rasa malu atau isolasi. Lintas sektor, organisasi seperti Microsoft dan Google telah menunjukkan bahwa EAP (Employee Assistance Programs), pelatihan mental health untuk manajer, dan pendekatan mindfulness terbukti memengaruhi retensi karyawan, inovasi, dan produktivitas. Misalnya Deloitte melaporkan peningkatan retensi hingga 30 % saat program mental health diintegrasikan secara serius
Lebih luas lagi, studi McKinsey menekankan lima domain penting dalam wellbeing di tempat kerja: perancangan kerja yang meminimalkan risiko, membangun resilience organisasi dan individu, fasilitasi pencarian bantuan awal, serta mendukung proses pemulihan dan reintegrasi karyawan pasca sakit mental. Atasan dan HR pun perlu membangun lingkungan psychological safety, di mana karyawan merasa aman untuk membuka suara tanpa takut dikucilkan. Manfaatnya besar: peningkatan inovasi, penurunan absensi, dan penurunan burnout hingga puluhan persen
Fleksibilitas kerja, termasuk opsi hybrid, waktu kerja fleksibel, dan kebijakan digital disconnection, juga terbukti memainkan peran penting. Pekerja hybrid contohnya lebih jarang mengambil cuti sakit, lebih jarang stres fisik, dan lebih bisa menjaga keseimbangan hidup dibandingkan yang sepenuhnya bekerja di kantor. Saat kesejahteraan psikologis menjadi tulang punggung budaya perusahaan, bukan halusinasi bahwa ruang kerja bisa menjadi zona aman. Budaya semacam ini harus berakar dalam kebijakan nyata: cuti mental health yang dipandang sah, pelatihan untuk pimpinan agar memberikan dukungan nyata, dan komunikasi terbuka tanpa stigma. Biro psikologi Smile Consulting Indonesia menyediakan jasa psikotes untuk berbagai kebutuhan asesmen psikologi, baik untuk individu maupun perusahaan. Layanan kami dirancang untuk memberikan hasil yang akurat dan terpercaya.
Referensi:
Day, A. L., & Randell, K. D. (2014). Building a foundation for psychologically healthy workplaces and well-being. Journal of Management & Organization, 20(4), 460–470. https://doi.org/10.1017/jmo.2014.49
Dewe, P., O’Driscoll, M., & Cooper, C. (2010). Coping with work stress: A review and critique. Wiley-Blackwell.
Milligan-Saville, J. S., Tan, L., Gayed, A., Barnes, C., Madan, I., Dobson, M., ... & Harvey, S. B. (2017). Workplace mental health training for managers and its effect on sick leave in employees: A cluster randomised controlled trial. The Lancet Psychiatry, 4(11), 850–858. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(17)30372-3
World Health Organization. (2022). Mental health at work: Policy brief. https://www.who.int/publications/i/item/9789240053052