Memuat...
10 November 2025 10:31

Resiliensi Anak terhadap Bullying & Tekanan Sosial di Sekolah

Bagikan artikel

Di balik tawa dan keceriaan anak-anak di sekolah, tersembunyi kenyataan pahit yang kerap terabaikan: bullying dan tekanan sosial. Dari ejekan ringan hingga tindakan intimidatif yang mengganggu psikologis, bullying bukan lagi masalah sepele yang bisa dianggap fase tumbuh kembang. Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kekerasan di lingkungan sekolah terus meningkat, baik secara verbal, fisik, maupun melalui media digital. Fenomena ini seringkali menimbulkan dampak psikologis yang dalam pada anak, bahkan hingga masa dewasa.

Anak-anak yang menjadi korban bullying atau merasa tertekan secara sosial bisa mengalami berbagai reaksi psikologis, seperti kecemasan berlebih, kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari pergaulan, hingga mengalami gangguan psikosomatis. Tak sedikit yang mengalami depresi, trauma jangka panjang, atau bahkan keinginan menyakiti diri. Namun, tidak semua anak yang mengalami tekanan berakhir dalam kondisi tersebut. Sebagian dari mereka justru mampu bangkit, menghadapi situasi sulit, dan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Inilah yang disebut dengan "resiliensi".

Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk bertahan, pulih, dan bahkan berkembang setelah mengalami tekanan atau kesulitan hidup. Dalam konteks anak, resiliensi bukanlah sifat bawaan, melainkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui proses belajar dan interaksi sosial yang sehat. Anak yang resilien mampu mengelola emosinya, mencari bantuan saat butuh, dan tetap memiliki harapan meski menghadapi situasi sulit.

Faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi anak sangat beragam. Dukungan dari keluarga memegang peran sentral. Anak-anak yang merasa dicintai, didengar, dan dipahami oleh orang tuanya memiliki fondasi psikologis yang kuat untuk menghadapi tekanan. Selain itu, guru dan lingkungan sekolah juga memainkan peranan penting. Guru yang peka terhadap perubahan perilaku anak dan mampu menciptakan ruang aman di kelas akan memperkuat daya tahan anak dalam menghadapi konflik sosial. Teman sebaya pun menjadi faktor protektif bila mereka mampu menunjukkan empati dan saling mendukung satu sama lain.

Strategi membangun resiliensi dapat dimulai sejak dini. Pertama, orang tua dan guru dapat mengajarkan keterampilan sosial kepada anak, seperti cara mengungkapkan perasaan dengan kata-kata, bernegosiasi, dan meminta bantuan saat dibutuhkan. Kedua, latihan regulasi emosi sangat penting: anak perlu dibantu mengenali emosi negatif dan belajar cara mengelolanya tanpa meledak atau memendam. Ketiga, menciptakan budaya sekolah yang inklusif dan menghargai keberagaman bisa mengurangi tekanan sosial dan memberi ruang bagi anak-anak untuk menjadi dirinya sendiri.

Lebih dari itu, perlu adanya sistem dukungan yang melibatkan seluruh ekosistem pendidikan. Konselor sekolah, pelatihan guru tentang kesehatan mental, dan keterlibatan aktif orang tua dalam kegiatan sekolah merupakan elemen penting dalam mendorong ketahanan anak. Mengutip dari jurnal "Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America" (Masten, 2014), resiliensi bukanlah perlindungan terhadap kesulitan, melainkan kemampuan untuk membangun kembali kekuatan di tengah keterpurukan.

Di tengah meningkatnya kompleksitas tantangan sosial di usia sekolah, membangun resiliensi anak bukanlah opsi, melainkan keharusan. Ini bukan hanya tentang melindungi anak dari dampak buruk bullying, tapi juga tentang membekali mereka dengan daya tahan psikologis agar mampu menjalani kehidupan dengan lebih kuat, sehat, dan optimis. Karena pada akhirnya, sekolah bukan sekadar tempat belajar kognitif, melainkan juga tempat belajar menjadi manusia tangguh. Sebagai biro psikologi terpercaya, Smile Consulting Indonesia adalah vendor psikotes yang juga menyediakan layanan psikotes online dengan standar profesional tinggi untuk mendukung keberhasilan asesmen Anda.

 

Referensi:

Masten, A. S. (2014). Global perspectives on resilience in children and youth. Child and Adolescent Psychiatric Clinics of North America, 23(2), 1-14.

KPAI (2022). Laporan Tahunan KPAI tentang Kekerasan Anak di Sekolah.

American Psychological Association. (2020). Building resilience in children.

Ungar, M. (2011). The Social Ecology of Resilience: A Handbook of Theory and Practice. Springer.

 

Bagikan