Memuat...
30 September 2025 11:19

Curhat lewat ChatGPT: Fenomena dalam Menyuarakan Isi Hati

Bagikan artikel

Di era digital, cara orang mencurahkan isi hati mengalami perubahan besar. Jika dulu orang lebih sering curhat lewat surat, buku harian, atau bicara langsung ke teman, kini muncul satu medium baru yang tak terduga: kecerdasan buatan seperti ChatGPT. Semakin banyak orang, terutama generasi muda, memilih untuk mengetikkan isi pikiran dan perasaan mereka kepada chatbot AI. Muncul pertanyaan: mengapa orang merasa nyaman curhat kepada program komputer yang bahkan tidak punya emosi?

Jawabannya kompleks, tetapi bisa ditelusuri dari berbagai sisi psikologis dan sosial. Pertama, curhat ke AI terasa aman secara emosional. Tidak ada penilaian, tidak ada gosip, tidak ada rasa takut diremehkan. AI seperti ChatGPT menjadi wadah yang netral, di mana seseorang bisa mengungkapkan apa pun tanpa khawatir akan respons negatif. Dalam konteks ini, AI berfungsi mirip seperti dinding kosong yang bersedia mendengar tanpa membalas secara personal.

Kedua, kecepatan dan ketersediaan chatbot membuatnya sangat menarik. Tidak perlu menunggu jadwal terapi, tidak harus merasa canggung membuka percakapan dengan teman yang sibuk. Cukup buka aplikasi, ketik, dan AI akan merespons seketika. Ini memberi rasa “didengarkan” secara instan, bahkan jika hanya secara semu. Dalam situasi tertekan, kebutuhan untuk berbicara dan mendapatkan respons meski dari teks otomatis bisa menjadi bentuk pertolongan pertama emosional.

Namun, penting untuk memahami bahwa meskipun AI bisa memberikan ruang aman, ia tetap bukan pengganti dukungan manusia yang sesungguhnya. AI tidak memiliki empati sejati. Ia bekerja berdasarkan data dan algoritma, bukan pengalaman hidup atau kepekaan emosional. Curhat ke AI memang bisa meredakan sesaat, tapi untuk masalah mendalam, interaksi manusia tetap penting. Relasi dengan terapis, teman dekat, atau komunitas sosial memberi validasi dan keterhubungan emosional yang tak tergantikan.

Fenomena ini juga menggarisbawahi kebutuhan akan literasi digital dan emosional. Orang perlu tahu batasan AI dan kapan harus mencari pertolongan manusia. Selain itu, platform penyedia layanan AI juga punya tanggung jawab etis: memastikan keamanan data pengguna, mencegah penyebaran informasi yang salah, dan memberikan panduan untuk kasus-kasus berisiko tinggi seperti ide bunuh diri atau trauma berat.

Fenomena “curhat ke ChatGPT” mencerminkan kehausan akan tempat yang aman dan instan untuk didengar. Ini bukan hal yang buruk, selama kita paham fungsinya sebagai pelengkap, bukan pengganti. Ke depannya, bisa jadi AI akan menjadi bagian dari ekosistem kesehatan mental, sebagai titik awal yang mengantar seseorang untuk mencari bantuan lebih lanjut.

Menyuarakan isi hati adalah kebutuhan manusiawi. Dan jika teknologi bisa membantu kita melakukannya dengan lebih terbuka, selama digunakan secara bijak, maka AI seperti ChatGPT bisa menjadi salah satu jembatan menuju kesejahteraan emosional. Sebagai bagian dari pusat asesmen Indonesia, biro psikologi Smile Consulting Indonesia menghadirkan solusi asesmen psikologi dan psikotes online berkualitas tinggi untuk kebutuhan evaluasi yang komprehensif.

Referensi:

Ho, C. S., et al. (2023). Exploring the use of AI in mental health support: Promise and perils. Journal of Digital Mental Health, 5(2).

Naslund, J. A., et al. (2020). Digital technology for treating and preventing mental disorders in low-income and middle-income countries: A narrative review of the literature. The Lancet Psychiatry, 7(6).

OpenAI (2024). Ethical Use of Chatbots for Emotional Support. [https://openai.com]

Bagikan