Pernahkah kamu merasa ingin marah, tapi akhirnya memilih diam agar tidak memperburuk suasana? Atau saat sedang sedih, kamu justru menutupi perasaan itu dengan senyum agar tidak membuat orang lain khawatir? Banyak dari kita terbiasa melakukan hal seperti ini tanpa sadar, seolah menekan emosi adalah tanda kedewasaan. Padahal, cara kita mengatur emosi, bukan sekadar menahannya juga berperan besar dalam kesehatan mental dan keseimbangan hidup.
Kemampuan mengelola emosi atau emotion regulation adalah salah satu keterampilan psikologis paling penting dalam kehidupan sehari-hari. Ia menentukan bagaimana kita merespons tekanan, menjaga hubungan sosial, bahkan mempengaruhi keputusan dan performa kerja. Namun, tidak semua orang tahu bahwa cara mereka mengelola emosi ternyata bisa diukur secara ilmiah melalui alat yang disebut Emotion Regulation Questionnaire (ERQ), yang dikembangkan oleh James Gross dan Oliver John pada tahun 2003.
Apa Itu ERQ dan Mengapa Penting?
ERQ bukan sekadar tes tentang “seberapa emosional” seseorang, tetapi sebuah cara untuk memahami bagaimana seseorang memproses dan mengekspresikan perasaannya. Alat ini melihat dua strategi utama yang umum digunakan manusia dalam mengatur emosi: cognitive reappraisal (penilaian ulang kognitif) dan expressive suppression (penekanan ekspresi emosi).
-
Cognitive reappraisal berarti mencoba mengubah cara berpikir tentang situasi yang memunculkan emosi. Misalnya, saat dimarahi atasan, seseorang yang memiliki kemampuan reappraisal tinggi mungkin akan berpikir, “Mungkin ini kritik yang bisa membantuku berkembang.” Dengan cara ini, emosi negatif seperti marah atau malu bisa berkurang, digantikan oleh rasa ingin memperbaiki diri.
-
Expressive suppression sebaliknya berfokus pada menahan ekspresi emosi, seperti tidak menunjukkan kesedihan, kemarahan, atau kekecewaan di depan orang lain. Meskipun terlihat tenang dan terkendali, strategi ini seringkali mengorbankan kesejahteraan emosional. Emosi yang ditekan terus-menerus tidak menghilang, tetapi menumpuk di bawah permukaan dan bisa muncul dalam bentuk stres, kelelahan, atau ledakan emosi di waktu yang tak terduga.
Mengatur Emosi di Dunia Modern: Antara Tuntutan dan Kesehatan Mental
Dalam dunia kerja atau lingkungan akademik, kemampuan “menjaga emosi” sering dianggap sebagai tanda profesionalitas. Kita diminta untuk tetap tenang meski ditekan, tetap ramah meski sedang lelah, dan tetap produktif meski sedang sedih. Namun, ketika “menahan perasaan” menjadi satu-satunya cara yang kita kenal, maka tubuh dan pikiran justru kehilangan keseimbangan.
Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan kemampuan cognitive reappraisal yang baik cenderung lebih tahan terhadap stres, lebih optimis, dan lebih puas dengan hidupnya. Sebaliknya, individu yang terlalu sering menggunakan expressive suppression lebih rentan mengalami kecemasan, kelelahan emosional, dan bahkan penurunan performa.
Bayangkan seseorang yang setiap hari menekan kekesalan di tempat kerja karena takut dianggap tidak profesional. Ia memang tampak tenang di luar, tapi di dalam dirinya ada ketegangan yang terus menumpuk. Tanpa disadari, tubuh mulai bereaksi: tidur tidak nyenyak, jantung berdebar lebih cepat, dan pikiran terasa penuh. Lama-kelamaan, hal ini bisa berkembang menjadi stres kronis atau bahkan gangguan psikosomatis.
Remaja dan Tantangan Mengatur Emosi
Tidak hanya orang dewasa, remaja pun menghadapi tantangan besar dalam mengatur emosi. Masa remaja adalah fase di mana emosi terasa sangat intens, seperti marah, malu, takut, kecewa, semuanya bisa datang sekaligus. Banyak remaja berusaha menekan perasaan agar diterima oleh teman sebaya, atau karena takut dianggap “lemah”.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mampu melakukan cognitive reappraisal, misalnya dengan mencoba melihat sisi positif dari kegagalan dapat lebih mampu menjaga keseimbangan emosional dan memiliki rasa percaya diri yang lebih baik. Sebaliknya, remaja yang terbiasa menyembunyikan emosi cenderung merasa terisolasi, mudah stres, dan memiliki risiko lebih tinggi mengalami gejala depresi.
Mengajarkan regulasi emosi pada remaja berarti memberi mereka bahasa untuk memahami perasaan sendiri. Bukan sekadar “jangan marah” atau “jangan sedih”, tetapi “apa yang sebenarnya kamu rasakan?” dan “apa yang bisa kamu ubah dari cara berpikirmu?” Pendekatan ini membantu mereka mengenali emosi bukan sebagai musuh, tapi sebagai sinyal yang bisa dipahami.
Apakah Mengatur Emosi Sama dengan Menahan Emosi?
Pertanyaan ini sering muncul: apakah mengatur emosi berarti kita harus selalu tenang dan tidak menunjukkan perasaan? Jawabannya: tidak. Regulasi emosi yang sehat bukan berarti menekan emosi, tetapi memahami dan menyalurkannya dengan bijak.
James Gross (2015) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah proses sadar untuk memilih bagaimana dan kapan kita mengekspresikan perasaan, bukan menghapusnya. Emosi, seburuk apa pun, tetap memiliki fungsi. Marah membantu kita menyadari adanya ketidakadilan. Sedih membantu kita melepaskan sesuatu yang berharga. Cemas mempersiapkan kita untuk menghadapi tantangan.
Kunci utamanya adalah kesadaran: menyadari emosi yang muncul, memahami dari mana asalnya, lalu memutuskan bagaimana kita ingin meresponsnya. Tanpa kesadaran ini, kita hanya akan bereaksi secara otomatis, kadang terlalu keras, kadang terlalu diam.
Belajar Mengatur Emosi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Mengelola emosi adalah keterampilan yang bisa dilatih. Tidak perlu rumit, tapi perlu kesabaran dan kejujuran pada diri sendiri.
Mulailah dari hal sederhana seperti:
-
Memberi nama pada emosi yang dirasakan. Saat kamu merasa “tidak nyaman,” coba sebutkan: apakah itu marah, kecewa, takut, atau cemburu? Menamai emosi membantu otak memahami apa yang terjadi.
-
Menulis refleksi harian. Tuliskan peristiwa yang membuatmu marah atau sedih, lalu tanyakan: “Apa yang bisa aku pelajari dari situasi ini?”
-
Mencari makna baru. Alih-alih berpikir “kenapa hal ini terjadi padaku?”, ubah menjadi “apa yang bisa aku lakukan dengan situasi ini?”
Keterampilan sederhana seperti ini, jika dilatih secara konsisten, bisa memperkuat kemampuan cognitive reappraisal dan mengurangi kecenderungan menekan emosi.
Menjadi Sahabat bagi Emosimu
Pada akhirnya, mengatur emosi bukan tentang menjadi sempurna atau selalu positif. Ini tentang belajar menjadi sahabat bagi emosimu sendiri, mendengarkannya tanpa takut, dan meresponsnya dengan bijak. ERQ membantu kita memahami di mana posisi kita dalam perjalanan itu: apakah kita cenderung memproses emosi dengan sehat, atau justru menekannya hingga tak terasa.
Karena pada dasarnya, emosi bukan untuk dilawan, tetapi untuk dipahami. Saat kita belajar mengelolanya dengan sadar, kita tidak hanya menjadi lebih tenang, tapi juga lebih manusiawi, mampu merasakan, bereaksi, dan bertumbuh dengan penuh kesadaran.
Biro psikologi Smile Consulting Indonesia menyediakan jasa psikotes untuk berbagai kebutuhan asesmen psikologi, baik untuk individu maupun perusahaan. Layanan kami dirancang untuk memberikan hasil yang akurat dan terpercaya.
Referensi:
Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationships, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85(2), 348–362.
Gross, J. J. (2015). Emotion regulation: Current status and future prospects. Psychological Inquiry, 26(1), 1–26.
Cutuli, D. (2014). Cognitive reappraisal and expressive suppression strategies in adolescence: Links with self-concept and depressive symptoms. International Journal of Psychology, 49(6), 513–521.